Wednesday, January 4, 2012

Pesta Kesenian Bali

REP | 13 June 2011 | 06:25 119 1 Nihil

1307920869196953740Tahun ini buat ke 33 kalinya Bali berpesta. Mereka memestakan seni adiluhung warisan leluhur. Menggali kesenian baru hasil kreasi seniman yang hidup dan lahir di Bali. Juga mementaskan kesenian lain dari seluruh antero dunia. Ada yang dari Amerika, Jepang, Korea, China, Australia. Sebuah idea cemerlang warisan Gubernur Bali ke 3 yang memerintah Bali antara tahun 78-88. Setahun memeringah Prof Ida Bagus Mantra menggagas kesenian Bali pertama. Hanya ada sekitar 5000 seniman kala itu yang terlibat. Panggung juga hanya ada 2 yakni Ardha Candra dan wantilan.
Sekarang ini setelah 33 kali penyelenggaraan peserta yang ikut berpartisipasi mencapai 15.000 orang. Panggung juga berjumlah lebih banyak, ada Ksirarnawa, 3 panggung tertaring, Ardha Candra yang menampung 10.000 penonton masih tetap megah. Kemajuan tentu, apalagi untuk pertama kalinya tahun ini arena pesta kesenian yang biasanya sesak dengan pengasong bisa disteril. Kita tak menemukan satupun pengasong menawarkan barang macam minuman ringan, kalung plastik palsu ditengah kesibukan menikmati kesenian adiluhung. Tapi yang masih terasa menohok pandang adalah suasana pesta kesenian Bali yang dijejali pedagang barang kelontong musiman. Begitu memarkir kendaraan entah di bagian selatan atau dibagian utara kompleks art centre yang berlokasi di Abiankapas itu kita disambut oleh jejalan dagang gorengan. Seakan mereka menawarkan kehangatan untuk sekedar membeli satu bungkus atau dua bungkus tahu goreng, pisang goreng, toge goreng, ayam goreng, yang berkulit renyah dan agak manis. “Sampai sekarang saya belum mahfum hubungan antara dagang gorengan dengan pesta kesenian Bali, ini yang tetap monoton dari tahun ketahun,” ungkap Wayan Wendra, 55 tahun pengunjung dari Sanur Bali.
Dia termasuk yang ngefans berat terhadap pesta kesenian Bali. Dan Wendra tak sendiri, ribuan orang merasakan hal yang sama. Mereka harus tersuruk suruk berdesakan dengan sesama pengunjung diantara jejalan barang macam sepatu, daster, tas pinggang atau kalung mutiara palsu yang dipajang seenak udel di gang gang sempit sumpek sepanjang jalan masuk. Di banyak panggung pengunjung yang sudah penat berjibaku dengan pedagang barang kelontong itu belumlah langsung bisa menikmati aneka macam kesenian yang digelar. Masih harus bersiap-siap untuk berjibaku untuk kedua kalinya.13079209631354928265 Di panggung tetaring yang hanya beratap rajutan daun kelapa itu kita mesti saling intip dengan penonton lain. Hanya sekitar 300 orang yang mendapat kesempatan untuk duduk. Yang lainnya mesti berdiri. Aneka kesenian hasil galian seniman seluruh Indonesia ditampilkan. Ada tarian Papua, Dayak, Padang, Sunda, Bugis, Sasak, Sumba yang pernah ditampilkan di arena pesta kesenian Bali. Ini untuk pesta di siang hari. Karena pengunjung kebanyakan anak sekolah yang sedang liburan ditemani orang tuanya. Sedangkan malam hari pertunjukannya lebih kolosal, ada pergelaran sendratari, lomba gong kebyar atau pertunjukan arja dan pementasan seni dari manca negara.
Begitu yang tercetak di brosur atau dipajang dengan megah di website resminya. Bila pada pesta kesenian awal tahun 80an itu dana yang dihabiskan untuk penyelenggaraan hanya sekitar Rp 200 juta. Kini dananya konon membengkak mencapai belasan milyar. Masih tetap wajar. Karena tahun 81 harga semangkuk bakso di sekitar arena pesta masihlah Rp 500 permangkok, tahun 2011 harganya mencapai Rp 50.000 sepuluh mangkuknya. Pesta kesenian Bali akhirnya terkesan begitu mahal karena pedagang makanan dan minuman juga harus merogoh kocek cukup dalam untuk menyewa kiosk. “Dan itu juga belum tentu untung, karena penataan tempat jualan yang tidak beraturan, ada dagang peralatan spa bersebelahan dengan lukisan atau peralatan upacara agama,” ujar Ktut Santi, 32 tahun pedagang dari Mengwi Bali.
Ada tambahan lagi yakni hilangnya pementasan drama gong yang termasuk kolosan selain sendratari. Konon karena pemainnya sudah uzur tanpa regenerasi. Bisa juga penonton tidak tertarik lagi menonton pertunjukan yang beringsut seputar sejarah masa lalu. Mereka lebih tertarik menyaksikan lawakan dalam pertunjukan bondres yang tak perlu perenungan. Juga tidak ada lomba busana adat atau lomba masak nasi goreng. Yang ada lomba memasak makanan tradisional yang ditata layaknya penataan jamuan kenegaraan. Penontonpun bila masa lampau adalah mereka yang benar benar ingin mengapresiasi pertunjukan, sekarang ini hanya berkerumun saling longok kemudian ngeloyor pergi. Bau gorengan, bakso dan tempe penyet lebih mengundang hidung ketimbang memanjakan mata untuk menikmati pementasan. “Yang dipertontonkan juga tak ada yang baru, dari tahun ketahun tetap saja joged bumbung, arja, dagelan dan sejenisnya,” ungkap Nyoman Berata, 65 tahun penonton asal Gianyar.
Sebagai arena untuk mengisi liburan yang murah bahkan terkesan gratisan, pesta kesenian Bali memang cucok. 13079210211956372547Tapi idea cemerlang Prof Mantra yang menginginkan adanya inovasi dan gairah berkesenian di kalangan seluruh rakyat Bali masih belum mencapai tujuannya. Kita masih sering menemukan seniman yang untuk sekedar mendapatkan beberapa dollar untuk pentas di hotel berbintang di Nusa Dua, harus berjibaku naik truk sejauh ratusan kilometer. Seperti dialami seniman jegog dari Jembrana yang akan mentas di hotel Bali Mirage Nusa Dua. Mereka berdiri di truk pengangkut pasir sepanjang jalan Negara Denpasar tanpa atap, jadi mesti kepanasan dalam sengatan mentari dan kehujanan disaat yang lain. Pesta kesenian itu bukan untuk mereka.

No comments:

Post a Comment

http://facebook.com